PENTINGNYA 4 (EMPAT) PILAR KEBANGSAAN DALAM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Pendahuluan.
Empat pilar kebangsaan yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika akhir-akhir ini menjadi
pembicaraan publik. Harus diakui, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik
tentang keempat pilar itu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak 1998.
Jika ada, diskusi publik tentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang
timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut
sistematis dari pemerintah khususnya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan,
dan menanamkan kembali keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan.
Akibatnya, sepanjang reformasi politik yang bermula pada tahun 1998,
negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus dipenuhi gagasan, wacana,
gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belakang dengan keempat pilar
tersebut.
Telah lebih dari satu dasawarsa reformasi telah dijalani rakyat
Indonesia, namun semakin hari wajah bangsa makin terlihat muram dan suram.
Dibidang penegakan hukum, kita melihat kebobrokan yang sedemikian rupa yang
menyentuh rasa keadilan yang paling mendasar. Hukum yang dicitakan berlaku sama
(equal) terhadap semua warga negara dan termasuk pejabat negara sebagai esensi
paham negara hukum (rule of law) sebagaimana diamanatkan konstitusi
terlihat-terbukti diterapkan secara diskriminatif, tebang pilih. Bukannya
memberi perlindungan dan pengayoman, hukum lebih terlihat berwajah keras
terhadap mereka yang rawan, dan amat ramah terhadap mereka yang mapan.
Terpidana yang menikmati fasilitas penuh kemewahan seperti dinikmati oleh
Arthalita Suryani, sementara di tempat lain di Banyumas, seorang narapidana
meregang nyawa dihabisi oleh petugas lembaga pemasyarakatan adalah contoh nyata
bagaimana implementasi dan perlindungan hukum di lapangan amatlah
diskriminatif.
Berbagai fenomena diatas hanyalah sebahagian kecil dari kompleksnya
permasalahan bangsa di tengah arus globalisasi dunia. Menjadi menarik untuk
direnungkan kembali adalah bagaimana pentingnya empat pilar kebangsaan yakni:
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhinneka Tunggal Ika dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara?
Bagaimana hukum seharusnya didayagunakan dalam konteks keempat pilar tersebut.
Tulisan ini akan mencoba menjawab secara ringkas permasalahan tersebut di atas
dalam perspektif hukum agar Negara Indonesia yang dicitakan sesuai dengan
amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh.
B. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.
Pancasila dalam pengertian ini sering juga disebut way of life. Dalam
hal ini, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari (Pancasila
diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan perkataan lain, Pancasila digunakan
sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktifitas hidup dan kehidupan didalam
segala bidang. Ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak/perbuatan setiap
manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila
Pancasila karena Pancasila sebagai weltanschauung selalu merupakan suatu
kesatuan, tidak bias dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Keseluruhan sila
didalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis. Pancasila yang harus
dihayati adalah Pancasila sebagaimana tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan demikian, jiwa keagamaan (sebagai manifestasi/perwujudan
dari sila ketuhanan yang maha esa), jiwa yang berperikemanusiaan (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab), jiwa
kebangsaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila persatuan Indonesia), jiwa
kerakyatan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), dan jiwa yang
menjunjung tinggi keadilan social (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia) selalu terpancar dalam segala
tingkah laku dan tindak/perbuatan serta sikap hidup seluruh Bangsa Indonesia.
[3]
Demikianlah pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh
karena itu, pengertian-pengertian yang berhubungan dengan pancasila dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:
1.
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia.
2.
Pancasila sebagai kepribadian bangsa
Indonesia.
3.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia.
4.
Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia.
5.
Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi negara Republik Indonesia.
6.
Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa
Indonesia pada waktu mendirikan negara.
7.
Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan
bangsa Indonesia.
8.
Pancasila sebagagai falsafah hidup yang
mempersatukan bangsa Indonesia.
C. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Kontrak Sosial dan Hukum Tertinggi.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, segala dinamika kekuasaan,
hubungan antar cabang kekuasaan, mekanisme hubungan antara negara, civil
society, diikat dan tersimpul dalam suatu dokumen yang disepakati sebagai
sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945
telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Sejak kemerdekaan, bangsa
kita telah menetapkan 8 kali undang-undang dasar, yaitu (1) UUD 1945, (2)
Konstitusi RIS 1949, (3) UUDS 1950, (4) UUD 1945 versi Dekrit 5 Juli 1959, (5)
Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, (6) Perubahan Kedua tahun 2000, (7)
Perubahan Ketiga tahun 2001, dan (8) Perubahan Keempat pada tahun 2002, dengan
nama yang dipertegas, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Di samping UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis, dalam teori dan
praktik, dikenal juga adanya pengertian mengenai konstitusi yang tidak
tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan,
interpretasi konstitusional oleh pengadilan (dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi), dan prinsip-prinsip kenegaraan yang hidup dan dipandang ideal
dalam masyarakat. Misalnya, ada pengertian yang hidup dalam masyarakat kita
bahwa empat pilar kebangsaan Indonesia yang mencakup (1) Pancasila, (2) UUD
1945, (3) NKRI, dan (4) Semboyan Bhinneka-Tunggal-Ika. Karena itu, keempat
pilar tersebut juga dapat dipandang berlaku sebagai isi konstitusi Indonesia
dalam pengertiannya yang tidak tertulis. Maksudnya, UUD 1945 sendiri tidak
menyebut bahwa keempat hal tersebut merupakan pilar kebangsaan, kecuali dalam
Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa mengenai bentuk NKRI tidak dapat
diadakan perubahan sama sekali.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, tidak saja dalam bidang
politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi, dan bahkan sosial. Karena itu, UUD
1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan sekaligus konstitusi
sosial. UUD 1945 adalah konstitusi yang harus dijadikan referensi tertinggi
dalam dinamika kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam dinamika ekonomi
pasar (market economy). Di samping soal-soal politik, UUD 1945 juga mengatur
tentang sosial-soal ekonomi dan sosial atau yang terkait dengan keduanya, yaitu
(1) hal keuangan negara, seperti kebijakan keuangan (moneter) dan fiskal, (2)
bank sentral, (3) soal Badan Pemeriksa Keuangan Negara hal kebijakan
pengelolaan dan pemeriksaan tanggungjawab keuangan negara, (4) soal
perekonomian nasional, seperti mengenai prinsip-prinsip hak ekonomi, konsep
kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif, serta penguasaan negara atas
kekayaan sumberdaya alam yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak,
serta (6) mengenai kesejahteraan sosial, seperti sistem jaminan sosial,
pelayanan umum dan pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan fakir, miskin, dan
anak terlantar oleh negara.
Oleh karena itu, UUD 1945 haruslah dijadikan referensi tertinggi dalam
merumuskan setiap kebijakan kenegaraan dan pemerintahan di semua bidang dan
sektor. Lagi pula, sekarang kita telah membentuk Mahkamah Konstitusi yang
berwenang menguji konstitusionalitas setiap kebijakan yang dituangkan dalam
bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, para anggota DPR sebagai anggota lembaga
yang bertindak sebagai policy maker, pembentuk undang-undang, perlu menghayati
tugasnya dengan berpedoman kepada UUD 1945.
[4]
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum yang tertinggi
memuat gambaran dan hasrat ketatanegaraan republik Indonesia serta gambaran kerangka
ketatanegaraan itu serta menentukan tujuan dan garis-garis pokok kebijaksanaan
pemerintahan
[5] sebagai
kontrak sosial antara masyarakat dengan lembaga-lembaga negara maupun antar
lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain.
D. NKRI Sebagai Negara Nasional (Negara Kebangsaan, Nation State).
Asas normatif filosofis-ideologis NKRI seutuhnya ialah filsafat negara
Pancasila. Filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung),
diakui juga sebagai jiwa bangsa (Volksgeist, jatidiri nasional) Indonesia.
Identitas dan integritas nilai fundamental ini secara konstitusional dan
institusional ditegakkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
nation state.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional, bahkan kultural negara
kebangsaan (nation state) adalah peningkatan secara kenegaraan dari nilai dan
asas kekeluargaan. Makna kekeluargaan, bertumpu pada karakteristika dan
integritas keluarga yang manunggal; sehingga rukun, utuh-bersatu, dengan
semangat kerjasama dan kepemimpinan gotong-royong. Jadi, nation state Indonesia
adalah wujud makro (nasional, bangsa, negara) dari rakyat warga negara
Indonesia se-nusantara.
Identitas demikian ditegakkan dalam nation state NKRI yang dijiwai asas
kekeluargaan, asas kebangsaan (Wawasan Nasional: sila ketiga Pancasila) dan
ditegakkan dengan semangat asas wawasan nusantara. Karenanya, secara normatif
integritas NKRI kuat, tegak tegar menghadapi berbagai tantangan nasional dan
global.
Keseluruhan identitas dan integritas kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai fundamental dasar negara
Pancasila. Karenanya, NKRI dapat dinamakan dengan predikat sebagai sistem kenegaraan
Pancasila. Sistem kenegaraan ini terjabar secara konstitusional dalam UUD 1945.
NKRI sebagai nation state membuktikan bagaimana potensi dan kualitas dari
integritas wawasan nasional Indonesia raya yang diwarisi, tumbuh, dan teruji
dalam berbagai tantangan nasional dan global.
E. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa.
Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa
mencantumkan kalimat ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pada lambang
negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara
yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu
Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya
Mpu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
Terjemahan:
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang
berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas
pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu
jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada
kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
[6]
Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno dan diterjemahkan dengan
kalimat Berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal
Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu
hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh
dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah
penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini.
Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28
Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian kesinambungan dari Sumpah
Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan persatuan, dan
hal ini disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar tersebut, yakni
terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda
merupakan peristiwa yang maha penting bagi bangsa Indonesia, setelah Sumpah
Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan latar kesukuannya
dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki bangsa
yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda
pada waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada
lagi ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide
federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari
satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu, serta
telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh kekuatan
persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.
[7]
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan
oleh Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia
tampil mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar
Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya
untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh.
Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya
bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan.
Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang
tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang
“jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia.
Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada
tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa
bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang telah
mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar
di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, meskipun
berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan
pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan
kesatuan Nusantara/bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak
terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati dari
bangsa.
F. Penutup.
Tegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih
menggunakan empat pilar kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah
dalam asas yang berkesesuaian dengan empat pilar kebangsaan tersebut, yang
bernafaskan Pancasila, yang konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk
menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi
itu tidak dijadikan pegangan, maka akan goyahlah negara Indonesia. Jika
penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada
akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk, sesuatu yang tentu tak
diinginkan.
DAFTAR BACAAN
Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, Surabaya:
Penerbit Usaha Nasional, 1991.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: Gramedia, 2007.
--------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Jakarta: MKRI, 2007.
Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno
Mastuti dan Hastho Bramantyo. 2009: 504-505.
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2008.
Tjahjopurnomo S.J. ―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda:
Beberapa Catatan tentang Persatuan,. Makalah disampaikan pada Seminar Buku
Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan Indonesia, di Auditorium Perpustakaan
Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A, Jakarta, 28 Oktober 2004.
[1] Disampaikan Pada
Seminar Nasional Yang Diadakan Oleh Kesatuan Aksi Mahasisiwa Muslim Indonesia
(KAMMI) Wilayah Sumatera Utara Pada Tanggal 10 Desember 2011.
[2] Staf Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah dan Kepala
Divisi Advokasi Lentera Konstitusi.
[3] Darji Darmodiharjo,
dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1991), hlm. 16.
[4] Uraian-uraian
mengenai hal tersebut diatas, dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Gramedia, 2007) dan
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: MKRI, 2007).
[5] M. Solly Lubis,
Hukum Tata Negara, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008), hlm. 33.
[6] Mpu Tantular.
Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo.
2009: 504-505.
[7] Tjahjopurnomo S.J.
―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: Beberapa Catatan tentang Persatuan,. Makalah
disampaikan pada Seminar Buku Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan
Indonesia, di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A,
Jakarta, 28 Oktober 2004.
WAWASAN NUSANTARA
A. Pengertian Wawasan Nusantara
Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan
lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Isi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara mencakup :
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam
arti :
·
Bahwa kebulatan wilayah nasional
dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang
hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama
bangsa.
·
Bahwa bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta
memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang
seluas-luasnya.
·
Bahwa secara psikologis, bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air,
serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.
·
Bahwa Pancasila adalah
satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi,
membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.
·
Bahwa kehidupan politik di seluruh
wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
·
Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara
merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum
nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
·
Bahwa bangsa Indonesia yang hidup
berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik
luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.
2.
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu
Kesatuan Ekonomi, dalam arti:
·
Bahwa kekayaan wilayah Nusantara
baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa
keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
·
Tingkat perkembangan ekonomi harus
serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang
dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.
·
Kehidupan perekonomian di seluruh
wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
3.
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai
Satu Kesatuan Sosial dan Budaya,
dalam arti :
·
Bahwa masyarakat Indonesia adalah
satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan
terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta
adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa.
·
Bahwa budaya Indonesia pada
hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan
kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya
bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai – nilai budaya lain yang tidak
bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati
oleh bangsa.
4.
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai
Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti :
·
Bahwa ancaman terhadap satu pulau
atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan
negara.
·
Bahwa tiap-tiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.