Newton, Pundak Raksasa, dan Karya
(Catatan
untuk Komunitas Ilmiah)
Oleh Yanuardi
Syukur
Dosen Antropologi
Sosial UNKHAIR, Ternate
“If i have seen
further, it is by standing on (the) shoulders of giants.”
--Sir Isaac Newton
Suatu waktu, Sir Isaac
Newton mengirimkan surat kepada sahabat karibnya. Nama sahabatnya: Robert
Hooke. “If i have seen further, it is by standing on (the) shoulders of
giants,” demikian tulis Newton. Kalimat tersebut mudahnya diterjemahkan, “Jika
aku dapat melihat lebih jauh, hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para
raksasa.”
Ada tiga hal yang menarik
dalam kalimat ini: “seen further” (melihat lebih jauh), “by standing
on” (berdiri di atas), dan “shoulders of giants” (pundak para
raksasa).
Melihat Lebih Jauh
Seorang cendekia idealnya
bisa melihat lebih jauh. Jika kalangan tertentu hanya melihat di permukaan, maka
kaum cendekia melihat di balik itu semua. Untuk bisa melihat lebih jauh, tentu
tidak semudah kita membalikkan telapak tangan, atau berkata “mudah.” Semuanya
butuh proses, usaha yang keras, dan kreativitas-kreativitas.
Itu semua bisa didapatkan
semata dengan belajar. Semakin rajin dan cerdas kita belajar, semakin jauhlah
pandangan kita. Para pendiri bangsa ini—sebutlah dua proklamator Bung Karno dan
Bung Hatta—dapat melihat jauh ke depan. Setelah melewati pertentangan di antara
“kaum muda” dan “kaum tua”, maka kemerdekaan pun terejawantahlah. Hingga kini,
kita bisa belajar relatif lebih enak dan nyaman (tidak dibayang-bayangi oleh
lalu lalang jet tempur sekutu), itu karena perjuangan mereka. Apa yang telah
mereka lakukan sifatnya jauh ke depan.
Civitas Akademika
universitas yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan karyawan, juga perlu
berpikir yang jauh ke depan. Fenomena tawuran antara mahasiswa yang kerap
terjadi (tidak hanya di kota besar, tapi juga kota-kota pulau seperti Ternate),
menyiratkan arti bahwat “tampaknya kita belum berpikir jauh ke depan.” Pikiran
dan pandangan kita masih tidak jauh dari sekedar “bagaimana melepaskan
amarah/emosi”, atau bagaimana agar “saya menang, dan dia kalah.” Stephen R.
Covey, seorang pakar kepemimpinan menulis salah satu ciri dari kebiasaan
efektif adalah “berpikir menang-menang.” Jadi, apapun yang terjadi, individu
seperti ini tetap berpikir bagaimana agar dirinya menang, dan orang lain juga
menang.
Berdiri dengan
Aktivitas Intelektual
Newton bisa berdiri
eksis, itu karena ia konsen pada ilmu pengetahuan. Sampai sekarang, nama Newton
hampir tidak terlewatkan oleh mereka yang duduk di bangku SMP atau SMA (bahkan
hingga perguruan tinggi). Nama Newton bisa berdiri dan eksis hingga sekarang,
itu karena ia berkonsentrasi para bagaimana mengembangkan kapasitas intelektual
serta memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan.
Kita sebagai “orang
kampus” juga perlu sekali untuk membiasakan segala sesuatunya dengan bahasan
yang rasional, dan ilmiah. Kampus adalah tempat dimana semua kita belajar
(mahasiswa belajar dari dosen, dosen belajar dari mahasiswa) untuk menjadi
insan-insan yang kontributif bagi kehidupan ini. Maka, memanfaatkan kesempatan
untuk belajar di perguruan tinggi adalah mutlak diperlukan.
Ilmu yang kita pelajari di
bangku kuliah itu tidak semata-mata lahir dalam semalaman. Ada proses yang
begitu panjang dilakukan. Dari sebuah pengamatan menjadi hipotesis. Dari
hipotesis menjadi penelitian. Berkali-kali diteliti (ada trial dan error
sudah pasti). Sehingga, pada titik tertentu dalam perjalanan ilmiah itu,
diperolehlah sebuah teori yang menjadi bangunan dari ilmu pengetahuan yang kita
pelajari sekarang. Jadi, ilmu tidak turun dari langit begitu saja. Ia butuh
proses yang begitu panjang.
Pundak “Para Raksasa”
Dalam membuat paper,
makalah, atau tugas ilmiah, biasanya di bagian belakang kita memasukkan sebuah
judul “Daftar Pustaka”, “Referensi”, atau “Daftar Bacaan.” Ini kita lakukan
karena kita merasa bahwa apa yang kita pelajari/teliti saat ini juga tidak
lepas dari penelitian serupa yang pernah dilakukan orang hebat sebelum kita.
Newton mengistilahlah orang hebat (atau ilmuwan-ilmuwan sebelumnya) dengan kata
“giants” (raksasa-raksasa).
Untuk itu, maka kita perlu banyak membaca. Semua karya berbobot haruslah
dibaca untuk memperluas cakrawala dan cara pandang. Seorang yang berbobot akan
terlihat dari bagaimana ia berpikir, bertindak, dan menyelesaikan suatu
masalah. Semakin banyak kita tahu, akan semakin kita mengertilah bagaimana
“hukum alam” yang ada.
“Para raksasa” masa lalu sudah banyak memberikan sumbangsihnya. Mereka
bergiat dalam bidangnya untuk memberi. Ya, mereka berpikir, “bagaimana
memberikan kontribusi.” Ibnu Sina—atau yang dikenal juga dengan nama Avicenna
(980-1037), menulis buku kedokteran al-Qanun fi al-Tibb atau Canon of
Medicine. Kitab ini menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran
yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab ini masih menjadi
referensi di berbagai sekolah kedokteran di Oxford, Paris dan Budapest di
Eropa. Ibnu Sina memberikan apa yang kita pelajari, ia tulis dalam bukunya
sehingga dipakai oleh berbagai orang setelahnya.
Saat ini, kita di kampus telah terspesialisasi dengan program studi. Maka, ada baiknya kita berkonsentrasi untuk
mengembangkan ilmu dimana kita berada. Artinya, bergiat pada berbagai bidang
ilmu itu baik, namun tetaplah ada satu bidang yang paling kita kuasai, paling expert
di situ. Dalam zoologi (ilmu tentang binatang), kita bisa belajar dari Abu
Ubaidah (728-825). Ia adalah seorang ahli biologi. Ia menulis lebih dari 100
kitab. Lebih dari separuh buku yang ditulisnya itu mempelajari tentang kuda.
Jadi, dari banyaknya sub kajian zoologi, ia berkonsentrasi pada satu hal saja,
yaitu kuda. Bayangkan kalau 50 bukunya menulis tentang kuda, berarti semua yang
terkait dengan kuda ia tahu: dari makanan, kebiasaan, hingga “psikologi” dari
kuda-kuda itu.
Berkarya
Yang tak kalah penting
dari itu semua, adalah berkarya. Pendidikan (dimanapun itu), tidak akan
berkembang kalau tidak ada karya. Perputaran peradaban telah mengantarkan kita
pada begitu banyaknya karya. Mesir Kuno sudah “mati-matian” berjuang untuk
ilmu, Yunani di jaman Plato, Aristoteles dan kawan-kawannya telah berjuang juga
untuk itu (walau lebih bersifat hipotesis ketimbang eksperimental). Pasca kekhalifahan
yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), ilmu pengetahuan berkembang di
“tangan” ilmuwan muslim. Perang demi perang yang terjadi, mengakibatkan
keruntuhan peradaban Islam, sehingga ilmu-ilmu itu ditransfer ke dunia barat
sehingga berkembang, dan seiring dengan politik etis yang diterapkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, kita di Indonesia pun akhirnya mendapatkan
pendidikan. Orang tua-tua kita ada yang sekolahnya hanya sampai SD, ada juga
yang sekedar sampai SMP (beruntung sekali hinggga tamat SMA dan bisa masuk ke
Perguruan Tinggi, namun itu tidaklah banyak).
Saat ini, pendidikan
sudah relatif enak ketimbang dulu. Anggaran Pendidikan dialokasikan 20%, namun
dalam pada kenyataannya tidak berjalan dengan mulus. Pemerintah kita masih
“setengah-setengah” dalam memajukan pendidikan. Akibatnya, seperti yang kita
lihat dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Andrea Hirata,
masih ada hingga sekarang. Dalam konteks Maluku Utara saja, pasti berbeda cara
mengajar di SMA Negeri 1 Ternate dengan SMA lainnya di kepulauan Halmahera. Di
kota Ternate, anak-anaknya lebih banyak yang sudah terbiasa dengan iklim kota,
sedangkan mereka yang tinggal di pedalaman Halmahera (apalagi yang sepulang
sekolah harus masuk hutan, buat kopra). Jadi, ketimpangan dalam pendidikan
hingga kini masih ada.
Namun, apakah kita perlu
menyesali, atau merutuki takdir itu? Saya kira tidak. Andrea Hirata, sebagai
contoh, adalah lulusan dari SD Muhammadiyah di Belitong yang kalau dilihat
sekolahnya, masih lebih bagus SD di wilayah kita. Namun, dengan semangat yang
menggebu-gebu, karena ia ingin “melihat lebih jauh” (seen further, kata
Newton). Akhirnya bisa bisa menyelesaikan pendidikannya di UI, dan berangkat
kuliah di Sorbonne, Paris. Jadi, apapun kondisi yang terjadi, kita tetap harus
berusaha untuk menjadi yang terjadi dan tidak merutuki takdir. Sebuah kalimat
bijak mengatakan, “Jangan kutuk kegelapan, tapi nyalakanlah lilin!”
Kata “nyalakanlah lilin”
dalam kalimat tadi, mengandung arti, “nyalakanlah lilin karya” sebanyak dan
seberkualitas. Kita bisa berkarya dengan menulis banyak-banyak di koran (baik
koran lokal maupun nasional), di jurnal-jurnal, atau sekedar di mading jurusan.
Kita juga bisa berkarya dengan menulis buku yang diterbitkan oleh universitas,
atau penerbit-penerbit besar atau kecil yang berseliweran di Tanah Jawa (tanpa
mengeluarkan biaya sepersen pun). Atau, kita juga bisa berkarya dengan
mengadakan riset (baik yang didanai atau riset mandiri) untuk kepentingan
mengasah naluri intelektual.
Tentu, itu semua hanya
akan bisa terwujud, kalau kita memiliki semangat dan jiwa cendekia yang
senantiasa menyala. Maka, seperti Newton yang dapat “melihat jauh dan berdiri
di atas pundak raksasa”, kita rasanya perlu untuk itu. Senantiasa berpikir dan
bertindak yang visioner, jauh ke depan, dengan terus membaca karya-karya
brilian baik yang lama maupun yang kontemporer (search engine Google
menyediakan banyak sekali rujukan untuk itu), ini diperlukan sekali. Tujuannya
untuk apa? Ini semata-mata untuk peningkatan kapasitas individu tersebut, dan
juga dalam proses membangun peradaban bangsa kita. Wallahu ‘Alam Bisshawab.
***
Casino Games near me - Mapyro
BalasHapus› app › casinos-games-near-me › app 밀양 출장샵 › 용인 출장안마 casinos-games-near-me A map 남원 출장안마 showing 삼척 출장안마 casinos and other casinos in Arizona. A 제주도 출장샵 map showing casinos and other casinos in Arizona. A map showing casinos and other casinos in Arizona.