Mengenai Saya

Foto saya
Alamat Rumah,Bangun Rejo Dusun III Perjaya RT/RW: 001/003 Kec.Martapura Kab. OKU Timur Prop.Sumsel Kode Pos 32181 Email :Pj.muslimin@yahoo.com / Blog netlog, http://id.netlog.com/musliminperjaya Facebook: Muslimin Perjaya

Kamis, 29 Maret 2012

Newton, Pundak Raksasa, dan Karya


Newton, Pundak Raksasa, dan Karya
(Catatan untuk Komunitas Ilmiah)
Oleh Yanuardi Syukur
Dosen Antropologi Sosial UNKHAIR, Ternate

“If i have seen further, it is by standing on (the) shoulders of giants.”
--Sir Isaac Newton
Suatu waktu, Sir Isaac Newton mengirimkan surat kepada sahabat karibnya. Nama sahabatnya: Robert Hooke. “If i have seen further, it is by standing on (the) shoulders of giants,” demikian tulis Newton. Kalimat tersebut mudahnya diterjemahkan, “Jika aku dapat melihat lebih jauh, hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.”
Ada tiga hal yang menarik dalam kalimat ini: “seen further” (melihat lebih jauh), “by standing on” (berdiri di atas), dan “shoulders of giants” (pundak para raksasa). 
Melihat Lebih Jauh
Seorang cendekia idealnya bisa melihat lebih jauh. Jika kalangan tertentu hanya melihat di permukaan, maka kaum cendekia melihat di balik itu semua. Untuk bisa melihat lebih jauh, tentu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan, atau berkata “mudah.” Semuanya butuh proses, usaha yang keras, dan kreativitas-kreativitas.
Itu semua bisa didapatkan semata dengan belajar. Semakin rajin dan cerdas kita belajar, semakin jauhlah pandangan kita. Para pendiri bangsa ini—sebutlah dua proklamator Bung Karno dan Bung Hatta—dapat melihat jauh ke depan. Setelah melewati pertentangan di antara “kaum muda” dan “kaum tua”, maka kemerdekaan pun terejawantahlah. Hingga kini, kita bisa belajar relatif lebih enak dan nyaman (tidak dibayang-bayangi oleh lalu lalang jet tempur sekutu), itu karena perjuangan mereka. Apa yang telah mereka lakukan sifatnya jauh ke depan.
Civitas Akademika universitas yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan karyawan, juga perlu berpikir yang jauh ke depan. Fenomena tawuran antara mahasiswa yang kerap terjadi (tidak hanya di kota besar, tapi juga kota-kota pulau seperti Ternate), menyiratkan arti bahwat “tampaknya kita belum berpikir jauh ke depan.” Pikiran dan pandangan kita masih tidak jauh dari sekedar “bagaimana melepaskan amarah/emosi”, atau bagaimana agar “saya menang, dan dia kalah.” Stephen R. Covey, seorang pakar kepemimpinan menulis salah satu ciri dari kebiasaan efektif adalah “berpikir menang-menang.” Jadi, apapun yang terjadi, individu seperti ini tetap berpikir bagaimana agar dirinya menang, dan orang lain juga menang.

Berdiri dengan Aktivitas Intelektual
Newton bisa berdiri eksis, itu karena ia konsen pada ilmu pengetahuan. Sampai sekarang, nama Newton hampir tidak terlewatkan oleh mereka yang duduk di bangku SMP atau SMA (bahkan hingga perguruan tinggi). Nama Newton bisa berdiri dan eksis hingga sekarang, itu karena ia berkonsentrasi para bagaimana mengembangkan kapasitas intelektual serta memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan.
Kita sebagai “orang kampus” juga perlu sekali untuk membiasakan segala sesuatunya dengan bahasan yang rasional, dan ilmiah. Kampus adalah tempat dimana semua kita belajar (mahasiswa belajar dari dosen, dosen belajar dari mahasiswa) untuk menjadi insan-insan yang kontributif bagi kehidupan ini. Maka, memanfaatkan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi adalah mutlak diperlukan.
Ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah itu tidak semata-mata lahir dalam semalaman. Ada proses yang begitu panjang dilakukan. Dari sebuah pengamatan menjadi hipotesis. Dari hipotesis menjadi penelitian. Berkali-kali diteliti (ada trial dan error sudah pasti). Sehingga, pada titik tertentu dalam perjalanan ilmiah itu, diperolehlah sebuah teori yang menjadi bangunan dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari sekarang. Jadi, ilmu tidak turun dari langit begitu saja. Ia butuh proses yang begitu panjang.
Pundak “Para Raksasa”
Dalam membuat paper, makalah, atau tugas ilmiah, biasanya di bagian belakang kita memasukkan sebuah judul “Daftar Pustaka”, “Referensi”, atau “Daftar Bacaan.” Ini kita lakukan karena kita merasa bahwa apa yang kita pelajari/teliti saat ini juga tidak lepas dari penelitian serupa yang pernah dilakukan orang hebat sebelum kita. Newton mengistilahlah orang hebat (atau ilmuwan-ilmuwan sebelumnya) dengan kata “giants” (raksasa-raksasa).
Untuk itu, maka kita perlu banyak membaca. Semua karya berbobot haruslah dibaca untuk memperluas cakrawala dan cara pandang. Seorang yang berbobot akan terlihat dari bagaimana ia berpikir, bertindak, dan menyelesaikan suatu masalah. Semakin banyak kita tahu, akan semakin kita mengertilah bagaimana “hukum alam” yang ada.
“Para raksasa” masa lalu sudah banyak memberikan sumbangsihnya. Mereka bergiat dalam bidangnya untuk memberi. Ya, mereka berpikir, “bagaimana memberikan kontribusi.” Ibnu Sina—atau yang dikenal juga dengan nama Avicenna (980-1037), menulis buku kedokteran al-Qanun fi al-Tibb atau Canon of Medicine. Kitab ini menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab ini masih menjadi referensi di berbagai sekolah kedokteran di Oxford, Paris dan Budapest di Eropa. Ibnu Sina memberikan apa yang kita pelajari, ia tulis dalam bukunya sehingga dipakai oleh berbagai orang setelahnya.
Saat ini, kita di kampus telah terspesialisasi dengan program studi. Maka, ada baiknya kita berkonsentrasi untuk mengembangkan ilmu dimana kita berada. Artinya, bergiat pada berbagai bidang ilmu itu baik, namun tetaplah ada satu bidang yang paling kita kuasai, paling expert di situ. Dalam zoologi (ilmu tentang binatang), kita bisa belajar dari Abu Ubaidah (728-825). Ia adalah seorang ahli biologi. Ia menulis lebih dari 100 kitab. Lebih dari separuh buku yang ditulisnya itu mempelajari tentang kuda. Jadi, dari banyaknya sub kajian zoologi, ia berkonsentrasi pada satu hal saja, yaitu kuda. Bayangkan kalau 50 bukunya menulis tentang kuda, berarti semua yang terkait dengan kuda ia tahu: dari makanan, kebiasaan, hingga “psikologi” dari kuda-kuda itu. 
Berkarya
Yang tak kalah penting dari itu semua, adalah berkarya. Pendidikan (dimanapun itu), tidak akan berkembang kalau tidak ada karya. Perputaran peradaban telah mengantarkan kita pada begitu banyaknya karya. Mesir Kuno sudah “mati-matian” berjuang untuk ilmu, Yunani di jaman Plato, Aristoteles dan kawan-kawannya telah berjuang juga untuk itu (walau lebih bersifat hipotesis ketimbang eksperimental). Pasca kekhalifahan yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), ilmu pengetahuan berkembang di “tangan” ilmuwan muslim. Perang demi perang yang terjadi, mengakibatkan keruntuhan peradaban Islam, sehingga ilmu-ilmu itu ditransfer ke dunia barat sehingga berkembang, dan seiring dengan politik etis yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, kita di Indonesia pun akhirnya mendapatkan pendidikan. Orang tua-tua kita ada yang sekolahnya hanya sampai SD, ada juga yang sekedar sampai SMP (beruntung sekali hinggga tamat SMA dan bisa masuk ke Perguruan Tinggi, namun itu tidaklah banyak).
Saat ini, pendidikan sudah relatif enak ketimbang dulu. Anggaran Pendidikan dialokasikan 20%, namun dalam pada kenyataannya tidak berjalan dengan mulus. Pemerintah kita masih “setengah-setengah” dalam memajukan pendidikan. Akibatnya, seperti yang kita lihat dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Andrea Hirata, masih ada hingga sekarang. Dalam konteks Maluku Utara saja, pasti berbeda cara mengajar di SMA Negeri 1 Ternate dengan SMA lainnya di kepulauan Halmahera. Di kota Ternate, anak-anaknya lebih banyak yang sudah terbiasa dengan iklim kota, sedangkan mereka yang tinggal di pedalaman Halmahera (apalagi yang sepulang sekolah harus masuk hutan, buat kopra). Jadi, ketimpangan dalam pendidikan hingga kini masih ada.
Namun, apakah kita perlu menyesali, atau merutuki takdir itu? Saya kira tidak. Andrea Hirata, sebagai contoh, adalah lulusan dari SD Muhammadiyah di Belitong yang kalau dilihat sekolahnya, masih lebih bagus SD di wilayah kita. Namun, dengan semangat yang menggebu-gebu, karena ia ingin “melihat lebih jauh” (seen further, kata Newton). Akhirnya bisa bisa menyelesaikan pendidikannya di UI, dan berangkat kuliah di Sorbonne, Paris. Jadi, apapun kondisi yang terjadi, kita tetap harus berusaha untuk menjadi yang terjadi dan tidak merutuki takdir. Sebuah kalimat bijak mengatakan, “Jangan kutuk kegelapan, tapi nyalakanlah lilin!”
 
Kata “nyalakanlah lilin” dalam kalimat tadi, mengandung arti, “nyalakanlah lilin karya” sebanyak dan seberkualitas. Kita bisa berkarya dengan menulis banyak-banyak di koran (baik koran lokal maupun nasional), di jurnal-jurnal, atau sekedar di mading jurusan. Kita juga bisa berkarya dengan menulis buku yang diterbitkan oleh universitas, atau penerbit-penerbit besar atau kecil yang berseliweran di Tanah Jawa (tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun). Atau, kita juga bisa berkarya dengan mengadakan riset (baik yang didanai atau riset mandiri) untuk kepentingan mengasah naluri intelektual.
Tentu, itu semua hanya akan bisa terwujud, kalau kita memiliki semangat dan jiwa cendekia yang senantiasa menyala. Maka, seperti Newton yang dapat “melihat jauh dan berdiri di atas pundak raksasa”, kita rasanya perlu untuk itu. Senantiasa berpikir dan bertindak yang visioner, jauh ke depan, dengan terus membaca karya-karya brilian baik yang lama maupun yang kontemporer (search engine Google menyediakan banyak sekali rujukan untuk itu), ini diperlukan sekali. Tujuannya untuk apa? Ini semata-mata untuk peningkatan kapasitas individu tersebut, dan juga dalam proses membangun peradaban bangsa kita. Wallahu ‘Alam Bisshawab. ***

1 komentar:

  1. Casino Games near me - Mapyro
    › app › casinos-games-near-me › app 밀양 출장샵용인 출장안마 casinos-games-near-me A map 남원 출장안마 showing 삼척 출장안마 casinos and other casinos in Arizona. A 제주도 출장샵 map showing casinos and other casinos in Arizona. A map showing casinos and other casinos in Arizona.

    BalasHapus